Blogger Widgets

Categories

Wednesday 6 April 2016

Makalah Filsafat Pancasila

NB: PROPOSAL/MAKALAH INI HANYA UNTUK REFERENSI DAN BELUM TENTU KEBENARAN DARI ISINYA. Peace
MAKALAH KEWARGANEGARAAN
FILSAFAT PANCASILA

DISUSUN OLEH:
YOLANDA SASQIA PUTRI
1501071004
SAPUTRI GUSTINA RAHMAN
1501071029
RAKHA NAUFAL
1501072020
1A D3- AKUNTANSI

POLITEKNIK NEGERI PADANG

TAHUN AKADEMIK 2015/2016

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala puji dan syukur pemakalah ucapkan kehadirat Allah SWT, Pencipta dan Pemelihara alam semesta ini, karena atas berkat Rahmat dan Karunia-Nya, pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini dengan harapan dapat bermanfaat dalam menambah ilmu dan wawasan terhadap kehidupan sosial dan bewarganegara.
Makalah ini pemakalah susun sebagai bahan diskusi bagi mahasiswa/i dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah Kewarganegaraan, adapun tema makalah ini adalah “Filsafat Pancasila”. Dalam membuat makalah ini dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang pemakalah miliki, pemakalah berusaha mencari sumber data dari buku cetak dan artikel dari internet.
Tidak lupa pemakalah ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing pada mata kuliah Kewarganegaraan yang telah memberi arahan untuk membuat makalah ini dan tidak lupa untuk semua pihak yang telah membantu pemakalah.
Akhir kata pemakalah mengucapkan terima kasih dan semoga Allah SWT membimbing kita semua dalam naungan kasih sayang-Nya.
Wassalamualaikum Wr. Wb
               Padang, Oktober 2015

              Kelompok 1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..................................................................................            ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang .......................................................................            1
1.2    Tujuan .....................................................................................           2
1.3    Rumusan Masalah ..................................................................            2
BAB II PEMBAHASAN
1.1     Pengertian Filsafat ...................................................................          3
1.1.1         Artian Filsafat Secara Etimologi ..................................          3
1.1.2         Artian Filsafat Secara Terminologi ..............................          4
1.1.3         Artian Filsafat Secara Dalam ........................................         4
1.2     Ciri-ciri Berpikir Secara Filsafat ..............................................          7
1.3     Cabang-cabang dan Aliran Filsafat ..........................................         9
1.3.1        Cabang-cabang Filsafat ................................................          9
1.3.2         Aliran-aliran Filsafat ....................................................          11
1.4     Pancasila Sebagai Suatu Sistem ...............................................          12
1.5     Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat ..................................          13
1.5.1        Dasar Ontologis Sila-sila Pancasila ..............................          14
1.5.2         Dasar Epistemologis Sila-sila Pancasila .......................          15
1.5.3        Dasar Aksiologis Sila-sila Pancasila .............................          17
1.6     Isi Kandungan Sila-sila Pancasila .............................................         22
BAB III PENUTUP
3.1  Kesimpulan ................................................................................        27

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Pancasila hal yang saat ini hampir terlupakan, Pancasila seharusnya menjadi dasar bagi seluruh rakyat Indonesia dalam berpikir. Sekarang sudah terkontaminasi oleh ideologi-ideologi lain yang tidak sejalan.  Bahkan sangat ironis, ketika banyak pelajar di Indonesia yang bahkan tidak hafal kelima silanya.  Bagaimana mereka bisa menerapkan jika mereka tidak mengetahui apa itu Pancasila,  padahal dahulu Pancasila diperjuangkan dengan tetesan darah dan keringat dari para pahlawan.
Saat ini kelima sila dalam Pancasila sudah tidak lagi menjadi pedoman hidup bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.  Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sekarang banyak yang mengaku beragama tetapi berperilaku seperti tidak memiliki Tuhan.  Sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, moral bangsa yang sudah sangat rusak tidak lagi mencerminkan masyarakat yang beradab, tingginya angka kriminalitas, narkoba dan seks bebas seperti sudah menjadi hal yang biasa.  Sila ketiga “Persatuan Indonesia” sekarang sangat marak terjadi peperangan antar agama, antar etnis dan suku.  Sila keempat “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”, para wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan nasib rakyatnya justru malah menjadi perampok bangsanya sendiri.  Korupsi yang dulunya dilakukan secara sembunyi–sembunyi, sekarang seperti menjadi hal yang wajar dalam birokrasi negara ini.  Sila Kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, disaat para orang kaya makan dengan tenang, banyak masyarakat kurang mampu yang justru belum makan dan masih berjuang demi mendapatkan uang untuk membeli makanan.  Dan disaat orang kaya tidur di kamar yang hangat, banyak masyarakat kurang mampu yang justru tidur di kolong jembatan, emperan toko dan trotoar.
Hal inilah yang melatar belakangi pemakalah menyusun makalah dengan judul “Filsafat Pancasila” untuk menelaah seperti apa filsafat hidup Bangsa Indonesia.

1.2    Tujuan
Adapun tujuan kami dalam pembuatan makalah ini adalah:
a.       Untuk melengkapi tugas mata kuliah pendidikan kewarganegaraan,
b.      Sebagai media pembelajaran dan diskusi.

1.3    Rumusan Masalah
a.       Mengapa Pancasila dikatakan sistem filsafat?
b.      Mengapa pentingnya berpikir secara filsafat Pancasila?




BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Pengertian Filsafat
Dalam wacana ilmu pengetahuan yang sebenarnya pengertian filsafat adalah sangat sederhana dan mudah dipahami. Filsafat merupakan suatu bidang ilmu yang senantiasa ada dan menyertai kehidupan manusia. Dengan kata lain, selama manusia hidup, maka sebenarnya ia tidak dapat mengelak dari filsafat. Jikalau seseorang hanya berpandangan materi merupakan sumber kebenaran dalam kehidupan, maka orang tersebut berfilsafat materialisme. Jikalau seseorang berpandangan bahwa kenikmatan adalah nilai terpenting dalam kehidupan maka orang tersebut berpandangan filsafat hedonisme, demikian juga jika berpandangan bahwa dalam kehidupan masyarakat adalah kebebasan individu, maka orang tersebut berfilsafat liberalisme, jikalau seseorang memisahkan antara kehidupan kenegaraan, kemasyarakatan dan kehidupan agama, maka orang tersebut berfilsafat sekularisme dan masih banyak lagi pandangan filsafat yang lainnya.
2.1.1        Artian Filsafat secara Etimologi
Filsafat merupakan terjemahan dari istilah “philosophia” yang berasal dari bahasa Yunani dan berarti cinta akan kebijaksanaan love of wisdom (philo: artinya cinta dan sophia artinya kebijaksanaan). Dalam bahasa lain, filsafat dikenal dengan sebutan philosophy (Inggris), “philosopie” (Prancis dan Belanda), dan kata “falsafah” (Arab), sedangkan orangnya disebut filsuf / filosof / philosophus yang artinya pecinta kebijaksanaan.
Jadi secara harfiah istilah filsafat adalah mengandung makna cinta kebijaksanaan. Sehingga kata filsafat dapat diartikan sebagai cinta kebenaran yaitu untuk selalu mencari kebenaran dengan  menggunakan akal pikir. Pengertian filsafat yang demikian ini antara tradisi pemikiran barat dan timur berbeda. Dalam tradisi pemikiran barat, pecinta kebenaran (orang bijaksana) adalah orang yang mengedepankan kecerdasan intelektual (IQ). Sedangkan menurut tradisi pemikiran timur orang bijaksana adalah orang yang mengedepankan kecerdasan emosi (EQ). Jadi, secara umum kata “filsafat” merupakan suatu kata yang menunjukan pada upaya manusia untuk mencari keutamaan hidup. Hal ini terkait dengan upaya manusia meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaannya melalui berbagai pemikiran agar manusia lebih berbudaya, beradab, dan menikmati hidup. Dalam tradisi pemikiran Jawa filsafat ini disebut “ngelmu kasepuhan” (ilmunya orang tua).
2.1.2        Artian Filsafat secara Terminologi
Artian filsafat secara terminologi dapat ditemukan dari berbagai pendapat para ahli pikir. 
Menurut Plato (427-347 SM) “filsafat” adalah seni berdiskusi atau dialektika artinya kebijaksanaan atau kearifan harus dicapai melalui pemikiran kritis atau diskusi (dialog).
Menurut Aristoteles (384-322M) filsafat adalah cara menyelidiki tentang hal ada yang berbeda dengan bagian–bagian yang lain artinya untuk memahami filsafat orang harus mengerti ilmu–ilmu yang lain.
2.1.3        Artian Filsafat secara Dalam (Radix)
Pengertian filsafat secara dalam (radix) adalah filsafat memiliki artian yang multidimensional, yaitu:
a.        Filsafat sebagai Ilmu
Filsafat sebagai ilmu atau ilmu filsafat di dalamnya memuat pesyaratan ilmiah (scientific method) antara lain: memiliki sistem, memiliki objek forma dan material, mengandung kebenaran, dan memiliki tujuan meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Beberapa pernyataan ini juga berlaku pada ilmu lain.
b.        Filsafat sebagai Cara Berpikir
Filsafat sebagai cara berpikir adalah cara berpikir global, menyeluruh, komprehensif. Artinya, suatu hal harus dilihat dari berbagai sudut pandang. Misalnya masalah kenakalan remaja tidak hanya dilihat dari aspek ilmu pendidikan saja, tetapi juga aspek ilmu sosiologi, aspek ilmu antropologi, aspek ilmu agama, ilmu prikolog, dll. Cara berpikir demikian diharapkan akan dapat memberikan hasil jawaban yang benar, tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Persyaratan untuk pemikiran filsafat adalah harus sistematik, konsepsial, koheren, sinoptik, dan mengarah pada pandangan dunia. Sistematik artinya pemikiran filsafat untuk mendapatkan jawaban yang rasional. Konsepsional artinnya pemikiran filsafat untuk mendapatkan yang jelas. Koheren artinya pemikiran filsafat untuk mendapatkan jawaban kebenaran yang logis atau runtut. Sinoptik artinya pemikiran filsafat untuk mendapatkan jawaban menyeluruh dan integral. Mengarah pada dunia artinya pemikiran filsafat hanya untuk mendapatkan jawaban permasalahan hidup di dunia.
c.         Filsafat sebagai Pandangan Hidup
Filsafat sebagai pandangan hidup (way of life) harus diartikan sebagai pandangan hidup dunia (bukan di akhirat). Bagaimana manusia berpikir, bertindak, dan bersikap lebih dipengaruhi oleh pandangan hidupnya. Misalnya orang barat tentunya berpikir, tindakan, dan sikapnya lebih dipengaruhi liberalisme.

d.        Filsafat sebagai Refleksi Hidup
Filsafat baru dikatakan bermakna apabila suatu filsafat itu direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, filsafat belum membumi, dan filsafat yang telah membumi (bermakna) adalah filsafat yang dijadikan landasan hidup sehari-hari. Filsafat yang bermakna adalah filsafat yang muncul dari sebuah pemikiran kemudian menjadi tradisi, adat istiadat atau kebudayaan masyarakat. Filsafat yang berkualitas adalah filsafat yang berasal dari pemikiran manusia memiliki daya tahan lama, mampu mengatur tata krama dan tata laku, menata kehidupan secara arif, meningkatkan harkat–martabat dan tidak bertentangan dengan nilai–nilai keagamaan.
Secara umum, filsafat dapat diartikan sebagai suatu pandangan hidup yang dianggap paling benar dalam kehidupan manusia, paling baik dan membawa kesejahteraan dalam kehidupannya, dan pilihan manusia sebagai suatu pandangan dalam hidupnya. Pilihan manusia atau bangsa dalam menentukan tujuan hidupnya ini dalam rangka untuk mencapai kehidupan dalam kehidupannya.
Keseluruhan arti filsafat yang meliputi berbagai masalah dapat dikelompokan menjadi dua macam :
Pertama: Filsafat sebagai Produk Mencakup Pengertian
Ø  Pengertian filsafat yang mencakup arti–arti filsafat sebagai jenis pengetahuan, konsep, ilmu, konsep dari para filsuf pada zaman dahulu, teori, sistem atau pandangan tertentu yang merupakan hasil dari proses berfilsafat dan yang mempunyai ciri–ciri tertentu.
Ø  Filsafat sebagai suatu jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai hasil dari aktivitas berfilsafat. Filsafat dalam pengertian jenis ini mempunyai ciri khas tertentu sebagai suatu hasil kegiatan berfilsafat dan pada umumya proses pemecahan persoalan filsafat ini diselesaikan dengan kegiatan berfilsafat (dalam pengertian filsafat sebagai proses yang dinamis).
Kedua: Filsafat sebagai Suatu Proses Mencakup Pengertian
Filsafat yang diartikan sebagai suatu bentuk aktivitas berfilsafat, dalam proses pemecahan suatu permasalahan dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan objek permasalahannya. Dalam pengertian ini filsafat merupakan suatu sistem pengetahuan yang bersifat dinamis. Filsafat dalam pengertian ini tidak lagi hanya merupakan sekumpulan dogma yang hanya diyakini, ditekuni dan dipahami sebagai suatu sistem nilai tertentu, tetapi lebih merupakan suatu aktivitas berfilsafat, suatu proses yang dinamis dengan menggunakan suatu cara dan metode tersendiri.

2.2    Ciri-ciri Berfikir Secara Filsafat
Berfilsafat termasuk dalam berfikir, namun berfilsafat tidak identik dengan berfikir. Sehingga tidak semua orang yang berpikir itu mesti berfilsafat, dan bisa dipastikan bahwa semua orang yang berfilsafat itu pasti befikir. Seorang siswa yang berfikir bagaimana agar bisa lulus dalam ujian akhir nasional maka siswa ini tidaklah sedang berfilsafat atau berpikir secara kefilsafatan melainkan berpikir biasa yang jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh. Oleh karena itu ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan:
Ø  Berfikir Kritis, yaitu orang yang selalu mempertanyakan segala sesuatunya.
Ø  Bersifat Mendalam, yaitu berfikir tidak hanya sampai faktanya saja, tetapi sampai hal yang bersifat khusus yaitu asmpai kepada intinya.
Ø  Berfikir Konseptual yaitu berfikir secara konseptual bukan hanya persepsi tetapi ada konsepnya. Berfikir secara konseptual yaitu mengenai hasil generalisasi dan abtraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses–proses individual. Berfikir secara kefilsafatan tidak bersangkutan dengan pemikiran terhadap perbuatan–perbuatan bebas yang dilakukan oleh orang–orang tertentu sebagaimana yang biasa dipelajari oleh seorang psikolog, melainkan bersangkutan dengan pemikiran “apakah kebebasan itu?”
Ø  Koheren (Runtut), yaitu berusaha menyusun sedemikan rupa. Berfikir secara koheren dan konsisten artinya berfikir sesuai dengan kaidah–kaidah befikir dan tidak mengandung kontradiksi atau dapat pula diartikan berfikir secara runtut, contoh penyusunan nomor, yang mana seharusnya diletakkan pada nomor satu, selanjutnya nomor dua, dan begitu seterusnya.
Ø  Sistematis, yaitu suatu kesatuan yang terdiri dari bagian–bagian yang mempunyai kaitan satu sama lain dan saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam mengemukakan jawaban terhadap suatu masalah, para filsuf memakai pendapat–pendapat sebagai wujud dari proses filsafat. Pendapat–pendapat itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung maksud dan tujuan tertentu.
Ø  Bersifat Rasional, yaitu berpikiran yang masuk akal sehat manusia dan logis.
Ø  Berfikir Meyeluruh, yaitu kesimpulannya bersifat umum, berkaitan dengan universal. Beda menyeluruh dengan universal yaitu kalau menyeluruh bersifat umum sedangkan universal sesuatu hal yang dapat diterima oleh orang banyak di berbagai tempat. Jalan yang dituju oleh seorang filsuf adalah keumuman yang diperoleh dari hal–hal yang bersifat khusus yang ada dalam kenyataan
Ø  Berfikir Spekulatif, yaitu berpikir dengan dugaaan–dugaan tertentu.
Ø  Berfikir Bebas, yaitu tidak tergantung atau tidak mempengaruhi hal–hal yang lain, murni dari apa yang ada dalam pemahamannya tanpa dipengaruhi oleh faktor–faktor di luar dirinya.  Bebas dari prasangka–prasangka sosial, historis, kultural ataupun religius. Berfikir dengan bebas itu bukan berarti sembarangan, sesuka hati, atau anarkhi, sebaliknya bahwa berpikir bebas adalah berpikir secara terikat, akan tetapi ikatan itu berasal dari dalam, dari kaidah–kaidah, dari disiplin fikiran itu sendiri. Dengan demikian pikiran dari luar sangat bebas, namun dari dalam sangatlah terikat.


2.3    Cabang-Cabang dan Aliran Filsafat
2.3.1        Cabang-cabang Filsafat
Menurut Lois.O.Kattsoff dalam bukunya,membedakan cabang-cabang filsafat sebagai berikut:
Ø  Logica: Ilmu pengetahuan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan yang benar.
Ø  Methodologi: Ilmu pengetahuan atau penyelidikan tentang metode-metode dan khususnya metode ilmiah, membicarakan sifat observasi, hukum, hipotesa, teori, dll.
Ø  Metafisika: Ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu keadanya sebagaimana terdapat pada dirinya sendiri (Aristoteles).
Sedangkan menurut Lois.O.Kattsoff, metafisika adalah bahagian dari pengetahuan manusia mengenai sifat-sifat terdalam dari barang sesuatu.
Ø  Ontologi: Membicarakan tentang  prinsip-prinsip rational mengenai sesuatu yang ada yang teratur dan menbicarakan tentang apakah ada perbedaan antara manusia dengan benda,matrealisme adalah ajaran yang termasuk dalam ontologi.
Ø  Kosmologi: Membicarakan tentang apakah asal mula alam semesta itu. Apakah yang menyebabkan bersifat teratur dan bukannya sesuatu yang bercampur baur. Intinya kosmologi itu ialah bagaimana dunia itu terjadi dengan teratur.
Ø  Epistemologi: Menyelidiki tentang asal mula, susunan, metode, serta batas-batas pengetahuan.
Ø  Biologi kefilsafatan: Mengenai tentang konsep-konsep hidup, penyesuaian (adaptasi), teknologi, evolusi dan mengenai keturunan. Persoalan pokoknya ialah apa yang dinamakan hidup itu.
Ø  Psychologi kefilsafatan: Membicarakan tentang persoalan-persoalan apakah roh atau jiwa itu. Roh atau jiwa itu hanya suatu kumpulan saluran-saluran urat syaraf ataukah sesuatu yang mempunyai sifat yang khas.
Ø  Anthropologi Kefilsafatan: Mempersoalkan tentang manusia, manusia dipandang sebagai makhluk yang mekanis atau sebagai makhluk keagamaan, filsafat ini juga membicarakan tentang arti sejarah manusia, apakah sejarah itu dan kemanakah tujuan perkembangannya.
Ø  Sosiologi Kefilsafatan: Membicarakan tentang hakekat masyarakat dan negara. Dalam filsafat ini juga dibicarakan tentang ideologi, tentang isme-isme (paham aliran). Persoalan pokoknya apakah yang dinamakan mamsyarakat dan negara itu.
Ø  Ethika: Membicarakan tentang penilaian mengenai tingkah laku yang benar yang mempergunakan predikat-predikat kesusilaan seperti baik, buruk, sholeh, dsb.
Ø  Aesthetika: Bertujuan untuk mencapai kenyataan menyelidiki tentang kebaikan-kebaikan. Cabang filsafat ini membicarakan tentang defenisi-definisi, susunan, dan peranan keindahan khususnya dalam kesenian.
Ø  Filsafat agama: Membicarakan tentang arti istilah yang dipergunakan, hubungan antara bagian-bagian dari kepercayaan dan bahan-bahan bukti dari kepercayaan dan hubungan antara kepercayaan agama dengan kepercayaan lainnya. Persoalan yang dekat hubungannya dengan kepercayaan agama ialah persoalan tentang keabadian jiwa. Persoalan pokonya adalah apakah yang dinamakan agama itu.
2.3.2        Aliran-aliran Filsafat
Aliran-aliran filsafat yang sejak dahulu hingga sekarang adalah sebagai berikut:
Ø  Aliran Matrealisme, aliran ini mengajarkan bahwa hakikat realitas kesemestaan, termasuk makhluk hidup dan manusia hidup dan manusia ialah materi. Semua realitas iu ditentukan oleh materi (misalnya benda ekonomi, makanan) dan terikat pada hukum alam, yaitu hukum sebab-akibat (hukum kaustalitas) yang bersifat objektif.
Ø  Aliran Idealisme (Spritualisme), aliran ini megajarkan bahwa ide dan spirit manusia yang menentukan hidup dan pengertian manusia. Subjek manusia sadar atas realitas dirinya dan kesemestaan karena ada akal budi dan kesadaran rohani manusia yang tidak sadar atau mati sama sekali tidak menyadari dirinya apalagi realitas kesemestaan. Jadi hakikat diri dan kenyataan kesemestaan ialah akal budi (ide dan spirit).
Ø  Aliran Realisme, aliran ini menggambarkan bahwa kedua aliran diatas adalah bertentangan, tidak sesuai dengan kenyataan (tidak realitas). Sesungguhnya, realitas kesemestaaan, terutama kehidupan bukanlah benda (materi) semata-mata. Oleh karenanya, realitas adalah panduan benda (materi dan jasmaniah) dengan yang non-materi (spiritual, jiwa, dan rohaniah). Khusus pada manusia tampak dalam gejala daya pikir, cipta, dan budi. Jadi menurut aliran ini, realitas merupakan sintesis antara jasmaniah-rohaniah, materi dan non-materi.

2.4    Pancasila sebagai Suatu Sistem
Yang disebut dengan sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh, sistem lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.    Suatu kesatuan bagian-bagian,
2.    Bagaian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri,
3.    Saling berhubungan, saling ketergantungan,
4.    Kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan sistem)
5.    Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore dan Voich, 1974: 22)
Pancasila yang tediri atas bagian-bagian yaitu sila-sila Pancasila setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri tujuan tertentu, yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dasar filsafat negara Indonesia terdiri atas lima sila yang masing-masing merupakan suatu asas peradaban. Setiap sila merupakan suatu unsure (bagian yang mutlak) dari kesatuan Pancasila. Maka dasar filsafat negara Pancasila adalah merupakan suatu kesatuan yang bersifat majemuk tunggal (majemuk artinya jamak) (tunggal artinya satu). Konsekuensinya setiap sila tidak dapat berdiri sendiri terpisah dari sila yang lainnya.
Pancasila pada hakikatnya merupakan sistem, dalam pengertian bahwa bagian-bagian, sila-silanya saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu struktur yang menyeluruh. Pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan dirinya sendiri, dengan sesame manusia, dengan masyarakat bangsa yang nilai-nilainya telah dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Kenyataan Pancasila yang demikian itu disebut kenyataan objektif, yaitu bahwa kenyataan itu ada pada Pancasila sendiri terlepas dari sesuatu yang lain, atau terlepas dari pengetahuan orang. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat bersifat khas dan berbada dengan sistem-sistem filsafat yang lainnya misalnya liberalisme, metrealisme, komunisme, dan aliran filsafat yang lainnya. Secara ilmiah disebut ciri khas secara objektif.

2.5    Pancasila sebagai Suatu Sistem Filsafat
Kesatuan sila-sila Pancasila bukanlah hanya kesatuan yang bersifat formal logis saja namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila. Kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidal, yang digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhis sila-sila dalam Pancasila dalam urut-urutan luas (kuantitas) dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila itu dalam arti formal logis. Pancasila itu hierarkhis dalam kuantitas juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-sila Pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila. Secara filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya misalnya materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme, dan lain paham filsafat di dunia.
2.5.1        Dasar Ontologis Sila-sila Pancasila
Ontologi menurut Runes, adalah teori tentang adanya keberadaan atau iksistensi. Sementara Aristoteles, menyebutnya sebagai ilmu yang menyelidiki hakikat sesuatu dan disamakan artinya dengan metafisika. Jadi ontologi adalah bidang filsafat yang menyelidiki makna yang ada (eksistensi dan keberadaan), sumber ada, jenis ada, dan termasuk ada alam, manusi metafisika, dan kesemstaan atau kosmologi.
Pancasila terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri. Melainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis  Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak monopluralis. Hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: bahwa yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, ynag berpersastuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia. Dari segi filsafat Negara Pancasila adalah dasar filsafat negara, adapun pendukung pokok negara adalah rakyat dan unsur rakyat adalah manusia itu sendiri.
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal  yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga, jiwa jasmani dan rokhani, sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Hubungan kesesuaian antara negara dengan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat yaitu negara sebagai pendukung hubungan dan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebab sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil adalah sebagai sebab adapun negara adalah sebagai akibat.
2.5.2        Dasar Epistemologis Sila-sila Pancasila
Pancasila sebagai suatu sistim filsafat pada hakikatnya juga merupakan suatu sistim pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa, dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan  masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan. Dalam pengertian seperti ini Pancasila telah menjadi suatu sistim cita-cita atau keyakinan-keyakinan (believe system) yang telah menyangkut praktis, karena dijadikan landasan bagi cara hidup manusia atau suatu kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini berarti filsafat telah menjelma menjadi ideologi. Sebagai suatu ideologi maka Pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik loyalitas dari pendukungnya yaitu: (1) logos, yaitu rasionalitas atau penalarannya, (2) pathos, yaitu penghayatannya, dan (3) ethos, yaitu kesusilaannya. Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologis yaitu:
a.        Sumber Pengetahuan Pancasila
Sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri, bukan berasal dari bangsa lain, bukannya hanya merupakan perenungan serta pemikiran seseorang atau beberapa orang saja namun dirumuskan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Dengan lain perkataan bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai Kausa matrealis Pancasila. Oleh karena sumber pengetahuan Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri yang memiliki nilai-nilai adat-istiadat serta kebudayaan dan nilai religious, maka diantara bangsa Indonesia sebagai pendukung sila-sila Pancasila dengan Pancasila sendiri sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki kesesuaian yang bersifat korespondensi.
b.        Susunan Pancasila sebagai Suatu Sistim Pengetahuan
Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti sila-sila Pancasila. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhis dan berbentuk pyramidal, dimana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya serta sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila-sila ketiga, keempat, dan kelima , sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan sila kedua serta mendasari dan menjiwai sila-sila keempat dan kelima, sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, dan ketiga serta mendasari dan menjiwai sila kelima, adapun sila kelima didasari dan dijiwai sila-sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Susunan isi arti Pancasila meliputi tigal hal yaitu:
1)        Umum universal yaitu hakikat sila-sila Pancasila, inti sari atau esensi Pancasila sehingga merupakan pangkal tolak rivisi baik dalam pelaksanaan pada bidang-bidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia serta dalam realisasi praktis dalam berbagai bidang kehidupan kongrit.
2)        Umum kolektif yaitu isi arti Pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia.
3)        Khusus dan  kongrit yaitu isi arti Pancasila dalam realisasi praktis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga memiliki sifat yang khusus kongrit serta dinamis.
c.         Pengetahuan Manusia
Menurut Pancasila bahwa hakikat manusia adalah monopluralis yaitu hakikat manusia yang memiliki unsure-unsur pokok yaitu susunan kodrat yang terdiri atas raga (jasmani) dan jiwa (rokhani). Tingkatan hakikat raga (jasmani) manusia adalah unsur-unsur: fisis anorganis, vegetative, animal. Adapun unsur jiwa (rokhani) manusia terdiri atsa unsur-unsur  potensi jiwa manusia yaitu: (1) akal, yaitu suatu potensi unsur kejiwaan manusia dalam mendapatkan kebenaran pengetahuan manusia, (2) rasa, yaitu unsur potensi jiwa manusia dalam tingkatan kemampuan estetis (keindahan), dan (3) kehendak, yaitu unsur potensi jiwa manusia dalam kaitannya dengan bidang moral atau etika.
Menurut Notonagoro untuk memperoleh pengetahuan yang benar terdapat tingkat-tingkat pemikiran sebagai berikut: memoris, reseptif, kritis dan kreatif. Adapun potensi atau daya untuk meresapkan pengetahuan atau dengan kata lain transformasi pengetahuan terdapat tingkatan sebagai berikut: demonstrasi, imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi, dan ilham.
2.5.3        Dasar Aksiologis Sila-sila Pancasila
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologisnya, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Namun dari berbagai macam pandangan tentang nilai dapat kita kelompokkan pada dua macam sudut pandang yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek pemberi nilai yaitu manusia, hal ini bersifat subjektif namun juga terdapat pandangan bahwa pada hakikatnya sesuatu itu memang pada dirinya sendiri memang bernilai, hal ini merupakan pandangan dari paham objektivisme.
Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, banyak pandangan tentang nilai terutama dalam menggolongkan nilai dan penggolongan.
Max Scheler misalnya, mengemukakan bahwa nilai pada hakikatnya berjenjang, jadi tidak sama tingginya dan tidak sama luhurnya. Nilai-nilai itu dalam kenyataannya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah bilamana dibandingkan satu dengan lainnya. Sejalan dengan pandangan tersebut Notonagoro merinci nilai di samping bertingkat juga berdasarkan jenisnya ada yang bersifat material dan non-material. Ada sekelompok orang mendasarkan pada orientasi nilai material, namun ada pula yang sebaliknya yaitu berorientasi pada nilai yang nonmaterial. Bahkan sesuatu yang non-material itu mengandung nilai yang bersifat mutlak bagi manusia. Nilai-nilai material relatif lebih mudah diukur yaitu menggunakan indra maupun alat pengukur lainnya seperti berat, panjang, lebar, luas, dan sebagainya. Dalam menilai hal-hal yang bersifat rokhaniah yang menjadi alat ukur adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh alat indra manusia yaitu cipta, rasa, karsa serta keyakinan manusia.
Menurut Natanagoro bahwa nilai-nilai Pancasila termasuk nilai kerokhanian, tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. Nilai kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis yaitu nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistematik-hierarkhis, dimana sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai basisnya sampai dengan sila Keadilan Sosial sebagai tujuannya.
a.        Teori Nilai
Nilai secara senyatanya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dibandingkan  dengan nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya, nilai-nilai dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan sebagai berikut:
1)        Nilai-nilai kenikmatan: terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan (Die Wertreihe des Angnehmen und Unangehmen), yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.
2)        Nilai-nilai kehidupan: nilai-nilai yang penting bagi kehidupan (Werte des vitalen Fuhlens) misalnya kesehatan.
3)        Nilai-nilai kejiwaan: nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai semacam ini ialah keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.
4)        Nilai-nilai kerokhanian: nilai dari yang suci dan tak suci (wermodalitas des Heiligen und Unheiligen), nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.
Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusiawi ke dalam delapan kelompok yaitu:
1)       Nilai-nilai ekonomis: ditujukan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli.
2)       Nilai-nilai kejasmanian: membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dari kehidupan badan.
3)       Nilai-nilai hiburan: nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada pengayaan kehidupan.
4)       Nilai-nilai sosial: berasal mula dari berbagai bentuk perserikatan manusia.
5)       Nilai-nilai watak: keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan.
6)        Nilai-nilai estetis: nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni.
7)        Nilai-nilai intelektual: nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran.
8)       Nilai-nilai keagamaan
Notonagoro membagi nilai menjadi tiga yaitu:
1)       Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktifitas.
2)       Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktifitas.
3)       Nilai-nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani. Nilai kerokhanian ini dapat dibedakan atas empat macam:
a)     Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
b)     Nilai keindahan atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (aesthetis, gevoel, rasa) manusia.
c)      Nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, wollen, karsa) manusia.
d)    Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.

Masih banyak lagi cara pengelompokkan nilai, misalnya seperti dilakukan N. Recher, yaitu pembagian ini berdasarkan pembawa nilai, hakikat keuntungan yang diperoleh, dan pula dengan pengelompokan nilai menjadi nilai instrinsik dan ekstrinsik, nilai objektif, dan nilai subjektifniali positif dan nilai negatif (disvalue)  dan sebagainya.
b.         Nilai-nilai Pancasila sebagai Suatu Sistem
Hakikat sila-sila Pancasila (substansi Pancasila) merupakan nilai-nilai, sebagai pedoman negara merupakan nilai-nilai norma, adapun aktualisasinya merupakan realisasi kongrit Pancasila. Prinsip dasar yang mengandung kualitas tertentu itu merupakan cita-cita dan harapan atau hal yang ditujukan oleh bangsa Indonesia untuk diwujudkan menjadi kenyataan real dalam kehidupannya, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Nilai-nilai yang terkandung dalam sila I sampai dengan sila V Pancasila merupakan cita-cita, harapan, dambaan bangsa Indonesia  yang akan diwujudkan dalam kehidupannya. Telah diuraikan pada bagian-bagian sebelumnya, Pancasila yang pada tahun 1945 secara formal diangkat menjadi das Sollen bangsa Indonesia, sebenarnya dianggap dari kenyataan real yang berupa prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam adat-istiadat, kebudayaan dan kehidupan keagamaan atau kepercayaan bangsa Indonesia.driyarkarya menyatakan bahwa bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan Sein im Sollen, merupakan harapan, cita-cita, tetapi sekaligus adalah kenyataan bagi bangsa Indonesia.
Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesia itulah yang menghargai, mangakui, menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai. Pengakuan, penghargaan dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia. Jika pengakuan, penerimaan atau penghargaan itu telah menggejala, maka bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia Indonesia.
Akan tetapi nilai-nilai itu saling melengkapi. Hal ini disebabkan sebagai suatu substansi, Pancasila itu merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, atau kesatuan organik (organic whole). Dengan demikian berarti nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh pula.
Sila-sila itu merupakan kesatuan organik. Antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan secara erat, bahkan saling mengkulifikasi. Adanya sila yang satu mengkualifikasi adanya sila yang lainnya. Secara demikian, Pancasila itu merupakan suatu sistem dalam pengertian umum, dalam artian bahwa bagian-bagiannya (sila-silanya) saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu struktur yang menyeluruh.
Suatu hal yang diberikan penekanan lebih dahulu yakni meskipun nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan dan bobot nilai yang berbeda yang berarti ada “keharusan”  untuk menghormati niai yang lebih tinggi, nilai-nilai yang berbeda tingkatan dan bobot nilainya itu tidak saling berlawanan atau bertentangan, melainkan saling melengkapi.

2.6    Isi Kandungan Sila-sila Pancasila
Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia. Banyak dari masyarakat Indonesia tidak memaknai kandungan isi dari tiap-tiap sila pancasila, kandungan tiap-tiap sila Pancasila 1 sampai 5 yaitu sebagai berikut:
1.         Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
1)        Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
2)        Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Ea, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab,
3)        Mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
4)        Membina kerukunan hidup antara sesame umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
5)        Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayai dan diyakininya,
6)        Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, dan
7)        Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
2.         Sila Kemanusiaan yang Adil dan Bearadab
1)        Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa,
2)        Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agam, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan social, warna kulit, dsb,
3)        Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia,
4)        Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepa selira,
5)        Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain,
6)        Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan,
7)        Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan,
8)        Berani membela kebenaran dan keadilan,
9)        Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, dan
10)    Mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3.         Sila Persatuan Indonesia
1)        Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan,
2)        Sangup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa, apabila diperlukan,
3)        Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa,
4)        Mengembangkan rasa kebanggaan kebangsaan dan bertanah air Indonesia,
5)        Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial,
6)        Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhineka Tunggal Ika, dan
7)        Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
4.         Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
1)        Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama,
2)        Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain,
3)        Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama,
4)        Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan,,
5)        Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah,
6)        Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah,
7)        Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi atas golongan,
8)        Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang jujur,
9)        Keputusan yang diambil harus dapat dipertangung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama, dan
10)    Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan permusyawaratan.
5.         Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
1)        Mengembangkan perbuatan luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong royongan,
2)        Mengembangkan sikap adil terhadap sesama,
3)        Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban,
4)        Menghormati hak orang lain,
5)        Suka memberikan pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri,
6)        Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain,
7)        Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah,
8)        Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum,
9)        Suka bekerja keras,
10)    Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama, dan
11)    Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial.















BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Kelangsungan dan keberhasilan suatu bangsa dalam mencapai cita-citanya sangat dipengaruhi oleh filsafat negara dari bangsa tersebut. Pancasila adalah pedoman dan arah yang akan dituju dalam mencapai cita-cita bangsa. Tanpa dilandasi oleh suatu filsafat maka arah yang akan dituju oleh bangsa akan kabur dan mungkin akan dapat melemahkan bangsa dan negara, jika filsafat itu tidak dihayati oleh bangsa tersebut. Untuk itulah kita bangsa Indonesia perlu untuk mengerti dan menghayati filsafat Pancasila sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pancasila sebagai sistem dalam filsafat, kita sudah tentu harus memenuhi syarat-syarat dari filsafat itu sendiri. Sistem filsafat Pancasila dapat kita temukan dalam berbagai nilai-nilai kehidupan di masyarakat, antara lain dari nilai agama, kebiasaan dari orang-orang Indonesia yang telah menjadi budaya dalam pergaulan sehari-hari. Seperti halnya kebudayaan di berbagai daerah di Indonesia adalah sumber dari nilai-nilai Pancasila itu.
Pancasila sebagai filsafat telah berhasil eksistensinya dalam kehidupan bernegara, karena Pancasila dapat dan mampu berperan sebagi sumber nilai dalam kehidupan politik, dalam sistem perekonomian, sebagai sumber dari sistem sosial dan budaya masyarakat. Oleh karena itu Pancasila perlu kita sebar luaskan dan kita gali terus-menerus, demi kuat dan kokohnya bangsa dan negara Indonesia. Pancasila adalah sumber kekuatan bangsa untuk tetap tegaknya negara dan keteraturan kehidupan bermasyarakat.
















DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Achmad, Asmoro, 2009. Paradigma Baru Filsafat Indonesia dan  Kewarganegaraan. Semarang: RaSAIL Media Group.
Erwin, Muhammad, 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.
Kaelan, 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Kaelan dan Achmad Zubaidi, 2012. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma
Website:


No comments:

Post a Comment