NB: PROPOSAL/MAKALAH INI HANYA UNTUK REFERENSI DAN BELUM
TENTU KEBENARAN DARI ISINYA. Peace
MAKALAH
KEWARGANEGARAAN
FILSAFAT
PANCASILA
DISUSUN
OLEH:
YOLANDA
SASQIA PUTRI
1501071004
SAPUTRI
GUSTINA RAHMAN
1501071029
RAKHA
NAUFAL
1A D3- AKUNTANSI
POLITEKNIK NEGERI PADANG
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala puji dan syukur
pemakalah ucapkan kehadirat Allah SWT, Pencipta dan Pemelihara alam semesta
ini, karena atas berkat Rahmat dan Karunia-Nya, pemakalah dapat menyelesaikan
makalah ini dengan harapan dapat bermanfaat dalam menambah ilmu dan wawasan
terhadap kehidupan sosial dan bewarganegara.
Makalah ini pemakalah
susun sebagai bahan diskusi bagi mahasiswa/i dan juga untuk memenuhi tugas mata
kuliah Kewarganegaraan, adapun tema makalah ini adalah “Filsafat Pancasila”.
Dalam membuat makalah ini dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang pemakalah
miliki, pemakalah berusaha mencari sumber data dari buku cetak dan artikel dari
internet.
Tidak lupa pemakalah ucapkan
banyak terima kasih kepada dosen pembimbing pada mata kuliah Kewarganegaraan
yang telah memberi arahan untuk membuat makalah ini dan tidak lupa untuk semua
pihak yang telah membantu pemakalah.
Akhir kata pemakalah
mengucapkan terima kasih dan semoga Allah SWT membimbing kita semua dalam
naungan kasih sayang-Nya.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Padang, Oktober
2015
Kelompok 1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
..................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang ....................................................................... 1
1.2 Tujuan
..................................................................................... 2
1.3 Rumusan
Masalah .................................................................. 2
BAB II
PEMBAHASAN
1.1
Pengertian Filsafat
................................................................... 3
1.1.1
Artian Filsafat Secara
Etimologi .................................. 3
1.1.2
Artian Filsafat Secara
Terminologi .............................. 4
1.1.3
Artian Filsafat Secara
Dalam ........................................ 4
1.2 Ciri-ciri
Berpikir Secara Filsafat .............................................. 7
1.3 Cabang-cabang
dan Aliran Filsafat .......................................... 9
1.3.1
Cabang-cabang Filsafat
................................................ 9
1.3.2
Aliran-aliran Filsafat
.................................................... 11
1.4 Pancasila
Sebagai Suatu Sistem ............................................... 12
1.5 Pancasila
Sebagai Suatu Sistem Filsafat .................................. 13
1.5.1
Dasar Ontologis
Sila-sila Pancasila .............................. 14
1.5.2
Dasar Epistemologis
Sila-sila Pancasila ....................... 15
1.5.3
Dasar Aksiologis
Sila-sila Pancasila ............................. 17
1.6
Isi Kandungan Sila-sila
Pancasila ............................................. 22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
................................................................................ 27
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pancasila hal yang saat ini hampir terlupakan,
Pancasila seharusnya menjadi dasar bagi seluruh rakyat Indonesia dalam
berpikir. Sekarang sudah terkontaminasi oleh ideologi-ideologi lain yang tidak sejalan. Bahkan sangat ironis, ketika banyak pelajar
di Indonesia yang bahkan tidak hafal kelima silanya. Bagaimana mereka bisa menerapkan jika mereka
tidak mengetahui apa itu Pancasila, padahal dahulu Pancasila diperjuangkan dengan tetesan
darah dan keringat dari para pahlawan.
Saat ini kelima sila dalam Pancasila sudah tidak
lagi menjadi pedoman hidup bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”,
sekarang banyak yang mengaku beragama tetapi berperilaku seperti tidak memiliki
Tuhan. Sila kedua “Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab”, moral bangsa yang sudah sangat rusak tidak lagi mencerminkan
masyarakat yang beradab, tingginya angka kriminalitas, narkoba dan seks bebas
seperti sudah menjadi hal yang biasa.
Sila ketiga “Persatuan Indonesia” sekarang sangat marak terjadi
peperangan antar agama, antar etnis dan suku.
Sila keempat “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan”, para wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan
nasib rakyatnya justru malah menjadi perampok bangsanya sendiri. Korupsi yang dulunya dilakukan secara
sembunyi–sembunyi,
sekarang seperti menjadi hal yang wajar dalam birokrasi negara ini. Sila Kelima “Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, disaat para orang kaya makan dengan
tenang, banyak masyarakat kurang mampu yang justru belum makan dan masih
berjuang demi mendapatkan uang untuk membeli makanan. Dan disaat orang kaya tidur di kamar yang
hangat, banyak masyarakat kurang mampu yang justru tidur di kolong jembatan,
emperan toko dan trotoar.
Hal inilah yang melatar belakangi pemakalah menyusun makalah dengan judul
“Filsafat Pancasila” untuk menelaah seperti apa filsafat hidup Bangsa
Indonesia.
1.2
Tujuan
Adapun tujuan kami dalam
pembuatan makalah ini adalah:
a. Untuk
melengkapi tugas mata kuliah pendidikan kewarganegaraan,
b. Sebagai
media pembelajaran dan diskusi.
1.3
Rumusan
Masalah
a.
Mengapa
Pancasila dikatakan sistem filsafat?
b.
Mengapa pentingnya berpikir secara filsafat Pancasila?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Filsafat
Dalam
wacana ilmu pengetahuan yang sebenarnya pengertian filsafat adalah sangat
sederhana dan mudah dipahami. Filsafat merupakan suatu bidang ilmu yang
senantiasa ada dan menyertai kehidupan manusia. Dengan kata lain, selama
manusia hidup, maka sebenarnya ia tidak dapat mengelak dari filsafat. Jikalau
seseorang hanya berpandangan materi merupakan sumber kebenaran dalam kehidupan,
maka orang tersebut berfilsafat materialisme. Jikalau seseorang berpandangan
bahwa kenikmatan adalah nilai terpenting dalam kehidupan maka orang tersebut
berpandangan filsafat hedonisme, demikian juga jika berpandangan bahwa dalam
kehidupan masyarakat adalah kebebasan individu, maka orang tersebut berfilsafat
liberalisme, jikalau seseorang memisahkan antara kehidupan kenegaraan, kemasyarakatan
dan kehidupan agama, maka orang tersebut berfilsafat sekularisme dan masih
banyak lagi pandangan filsafat yang lainnya.
2.1.1
Artian
Filsafat secara Etimologi
Filsafat
merupakan terjemahan dari istilah “philosophia”
yang berasal dari bahasa Yunani dan berarti cinta akan kebijaksanaan “love of wisdom” (philo: artinya cinta dan sophia artinya kebijaksanaan). Dalam
bahasa lain, filsafat dikenal dengan sebutan “philosophy”
(Inggris), “philosopie” (Prancis dan Belanda), dan kata “falsafah” (Arab), sedangkan orangnya
disebut filsuf / filosof / philosophus yang artinya pecinta kebijaksanaan.
Jadi
secara harfiah istilah filsafat adalah mengandung makna cinta kebijaksanaan.
Sehingga kata filsafat dapat diartikan sebagai cinta kebenaran yaitu untuk
selalu mencari kebenaran dengan
menggunakan akal pikir. Pengertian filsafat yang demikian ini antara
tradisi pemikiran barat dan timur berbeda. Dalam tradisi pemikiran barat, pecinta kebenaran (orang
bijaksana) adalah orang yang mengedepankan kecerdasan intelektual (IQ).
Sedangkan menurut tradisi pemikiran timur orang bijaksana adalah orang yang
mengedepankan kecerdasan emosi (EQ). Jadi, secara umum kata “filsafat”
merupakan suatu kata yang menunjukan pada upaya manusia untuk mencari keutamaan
hidup. Hal ini terkait dengan upaya manusia meningkatkan harkat dan martabat
kemanusiaannya melalui berbagai pemikiran agar manusia lebih berbudaya,
beradab, dan menikmati hidup. Dalam tradisi pemikiran Jawa filsafat ini disebut
“ngelmu kasepuhan” (ilmunya orang tua).
2.1.2
Artian
Filsafat secara Terminologi
Artian
filsafat secara terminologi
dapat ditemukan dari berbagai pendapat para ahli pikir.
Menurut
Plato (427-347 SM) “filsafat”
adalah seni berdiskusi atau dialektika artinya kebijaksanaan atau kearifan harus dicapai
melalui pemikiran kritis atau diskusi (dialog).
Menurut
Aristoteles (384-322M) filsafat adalah cara menyelidiki tentang hal ada yang
berbeda dengan bagian–bagian yang lain artinya untuk memahami filsafat orang
harus mengerti ilmu–ilmu yang lain.
2.1.3
Artian
Filsafat secara Dalam (Radix)
Pengertian
filsafat secara dalam (radix) adalah filsafat
memiliki artian yang multidimensional, yaitu:
a.
Filsafat
sebagai Ilmu
Filsafat
sebagai ilmu atau ilmu filsafat di dalamnya memuat pesyaratan ilmiah
(scientific method) antara lain: memiliki sistem,
memiliki objek forma dan material, mengandung kebenaran, dan memiliki tujuan
meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Beberapa pernyataan ini juga berlaku
pada ilmu lain.
b.
Filsafat
sebagai Cara Berpikir
Filsafat
sebagai cara berpikir adalah cara berpikir global, menyeluruh, komprehensif.
Artinya, suatu hal harus dilihat dari berbagai sudut pandang. Misalnya masalah
kenakalan remaja tidak hanya dilihat dari aspek ilmu pendidikan saja, tetapi
juga aspek ilmu sosiologi, aspek ilmu antropologi, aspek ilmu agama, ilmu
prikolog, dll. Cara berpikir demikian diharapkan akan dapat memberikan hasil
jawaban yang benar, tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Persyaratan
untuk pemikiran filsafat adalah harus sistematik, konsepsial, koheren,
sinoptik, dan mengarah pada pandangan dunia. Sistematik artinya pemikiran filsafat untuk mendapatkan jawaban
yang rasional. Konsepsional artinnya
pemikiran filsafat untuk mendapatkan yang jelas. Koheren artinya pemikiran filsafat untuk mendapatkan jawaban
kebenaran yang logis atau
runtut. Sinoptik artinya pemikiran
filsafat untuk mendapatkan jawaban menyeluruh dan integral. Mengarah pada dunia artinya pemikiran
filsafat hanya untuk mendapatkan jawaban permasalahan hidup di dunia.
c.
Filsafat
sebagai Pandangan Hidup
Filsafat
sebagai pandangan hidup (way
of life) harus diartikan
sebagai pandangan hidup dunia (bukan di akhirat). Bagaimana manusia berpikir,
bertindak, dan bersikap lebih dipengaruhi oleh pandangan hidupnya. Misalnya
orang barat tentunya berpikir, tindakan,
dan sikapnya lebih dipengaruhi liberalisme.
d.
Filsafat
sebagai Refleksi Hidup
Filsafat
baru dikatakan bermakna apabila suatu filsafat itu direfleksikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Artinya, filsafat belum membumi, dan filsafat yang telah membumi (bermakna)
adalah filsafat yang dijadikan landasan hidup sehari-hari. Filsafat yang
bermakna adalah filsafat yang muncul dari sebuah pemikiran kemudian menjadi
tradisi, adat istiadat atau kebudayaan masyarakat.
Filsafat yang berkualitas adalah filsafat
yang berasal dari pemikiran manusia memiliki daya tahan
lama, mampu mengatur tata krama dan tata laku, menata kehidupan secara arif,
meningkatkan harkat–martabat dan tidak bertentangan dengan nilai–nilai
keagamaan.
Secara
umum, filsafat dapat diartikan sebagai suatu
pandangan hidup yang dianggap paling benar dalam kehidupan manusia, paling baik
dan membawa kesejahteraan dalam kehidupannya, dan pilihan manusia sebagai suatu
pandangan dalam hidupnya. Pilihan manusia atau bangsa dalam menentukan
tujuan hidupnya ini dalam rangka untuk mencapai kehidupan dalam kehidupannya.
Keseluruhan
arti filsafat yang meliputi berbagai masalah dapat dikelompokan menjadi dua
macam :
Pertama: Filsafat sebagai Produk Mencakup Pengertian
Ø Pengertian
filsafat yang mencakup arti–arti filsafat sebagai jenis pengetahuan, konsep,
ilmu, konsep dari para filsuf pada zaman dahulu, teori, sistem atau pandangan
tertentu yang merupakan hasil dari proses berfilsafat dan yang mempunyai ciri–ciri
tertentu.
Ø Filsafat
sebagai suatu jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai hasil dari
aktivitas berfilsafat. Filsafat dalam pengertian jenis ini mempunyai ciri khas
tertentu sebagai suatu hasil kegiatan berfilsafat dan pada umumya proses pemecahan
persoalan filsafat ini diselesaikan dengan kegiatan berfilsafat (dalam
pengertian filsafat sebagai proses yang dinamis).
Kedua: Filsafat sebagai Suatu Proses Mencakup Pengertian
Filsafat yang diartikan sebagai suatu bentuk
aktivitas berfilsafat, dalam proses pemecahan suatu permasalahan dengan
menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan objek
permasalahannya. Dalam pengertian ini filsafat merupakan suatu sistem pengetahuan
yang bersifat dinamis. Filsafat dalam pengertian ini tidak lagi hanya merupakan
sekumpulan dogma yang hanya diyakini, ditekuni dan dipahami sebagai suatu
sistem nilai tertentu, tetapi lebih merupakan suatu aktivitas berfilsafat,
suatu proses yang dinamis dengan menggunakan suatu cara dan metode tersendiri.
2.2
Ciri-ciri Berfikir Secara Filsafat
Berfilsafat
termasuk dalam berfikir, namun berfilsafat tidak identik dengan berfikir.
Sehingga tidak semua orang yang berpikir itu mesti berfilsafat, dan bisa
dipastikan bahwa semua orang yang berfilsafat itu pasti befikir. Seorang siswa
yang berfikir bagaimana agar bisa lulus dalam ujian akhir nasional maka siswa
ini tidaklah sedang berfilsafat atau berpikir secara kefilsafatan melainkan
berpikir biasa yang jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam dan
menyeluruh. Oleh karena itu ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan:
Ø Berfikir Kritis, yaitu orang yang selalu
mempertanyakan segala sesuatunya.
Ø Bersifat Mendalam, yaitu berfikir
tidak hanya sampai faktanya saja, tetapi sampai hal yang bersifat khusus yaitu
asmpai kepada intinya.
Ø Berfikir Konseptual yaitu berfikir secara
konseptual bukan hanya persepsi tetapi ada konsepnya. Berfikir secara
konseptual yaitu mengenai hasil generalisasi dan abtraksi dari pengalaman
tentang hal-hal
serta proses–proses individual. Berfikir secara kefilsafatan tidak bersangkutan
dengan pemikiran terhadap perbuatan–perbuatan bebas yang dilakukan oleh orang–orang
tertentu sebagaimana yang biasa dipelajari oleh seorang psikolog, melainkan
bersangkutan dengan pemikiran “apakah kebebasan itu?”
Ø Koheren (Runtut), yaitu berusaha menyusun
sedemikan rupa. Berfikir secara koheren dan konsisten artinya berfikir sesuai
dengan kaidah–kaidah befikir dan tidak mengandung kontradiksi atau dapat pula
diartikan berfikir secara runtut, contoh penyusunan nomor, yang mana seharusnya
diletakkan pada nomor satu, selanjutnya nomor dua, dan begitu seterusnya.
Ø Sistematis, yaitu suatu kesatuan yang
terdiri dari bagian–bagian yang mempunyai kaitan satu sama lain dan saling
berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam mengemukakan jawaban terhadap
suatu masalah, para filsuf memakai pendapat–pendapat sebagai wujud dari proses
filsafat. Pendapat–pendapat itu harus saling berhubungan secara teratur dan
terkandung maksud dan tujuan tertentu.
Ø Bersifat Rasional, yaitu berpikiran yang
masuk akal sehat manusia dan logis.
Ø Berfikir
Meyeluruh, yaitu
kesimpulannya bersifat umum, berkaitan dengan universal. Beda menyeluruh dengan
universal yaitu kalau menyeluruh bersifat umum sedangkan universal sesuatu hal
yang dapat diterima oleh orang banyak di berbagai tempat. Jalan yang dituju
oleh seorang filsuf adalah keumuman yang diperoleh dari hal–hal yang bersifat
khusus yang ada dalam kenyataan
Ø Berfikir Spekulatif, yaitu berpikir dengan
dugaaan–dugaan tertentu.
Ø Berfikir Bebas, yaitu tidak tergantung atau tidak mempengaruhi
hal–hal yang lain, murni dari apa yang ada dalam pemahamannya tanpa dipengaruhi
oleh faktor–faktor di luar dirinya.
Bebas dari prasangka–prasangka sosial, historis, kultural ataupun
religius. Berfikir dengan bebas itu bukan berarti sembarangan, sesuka hati,
atau anarkhi, sebaliknya bahwa berpikir bebas adalah berpikir secara terikat,
akan tetapi ikatan itu berasal dari dalam, dari kaidah–kaidah, dari disiplin
fikiran itu sendiri. Dengan demikian pikiran dari luar sangat bebas, namun dari
dalam sangatlah terikat.
2.3
Cabang-Cabang dan Aliran Filsafat
2.3.1
Cabang-cabang Filsafat
Menurut Lois.O.Kattsoff dalam
bukunya,membedakan cabang-cabang filsafat sebagai berikut:
Ø Logica: Ilmu pengetahuan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan yang benar.
Ø Methodologi: Ilmu pengetahuan atau penyelidikan
tentang metode-metode
dan khususnya metode ilmiah, membicarakan sifat observasi, hukum, hipotesa,
teori, dll.
Ø Metafisika: Ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu keadanya
sebagaimana terdapat pada dirinya sendiri (Aristoteles).
Sedangkan menurut Lois.O.Kattsoff, metafisika adalah bahagian dari pengetahuan manusia mengenai
sifat-sifat terdalam dari barang sesuatu.
Ø Ontologi:
Membicarakan tentang prinsip-prinsip
rational mengenai sesuatu yang ada yang teratur dan menbicarakan tentang apakah
ada perbedaan antara manusia dengan benda,matrealisme
adalah ajaran yang termasuk dalam ontologi.
Ø Kosmologi: Membicarakan
tentang apakah asal mula alam semesta itu. Apakah yang menyebabkan bersifat
teratur dan bukannya sesuatu yang bercampur baur. Intinya kosmologi itu ialah
bagaimana dunia itu terjadi dengan teratur.
Ø Epistemologi: Menyelidiki
tentang asal mula, susunan, metode, serta batas-batas pengetahuan.
Ø Biologi kefilsafatan: Mengenai
tentang konsep-konsep hidup, penyesuaian (adaptasi), teknologi, evolusi dan
mengenai keturunan. Persoalan pokoknya ialah apa yang dinamakan hidup itu.
Ø Psychologi kefilsafatan: Membicarakan
tentang persoalan-persoalan apakah roh atau jiwa itu. Roh atau jiwa itu hanya
suatu kumpulan saluran-saluran urat syaraf ataukah sesuatu yang mempunyai sifat
yang khas.
Ø Anthropologi Kefilsafatan: Mempersoalkan
tentang manusia, manusia dipandang sebagai makhluk yang mekanis atau sebagai
makhluk keagamaan, filsafat ini juga membicarakan tentang arti sejarah manusia,
apakah sejarah itu dan kemanakah tujuan perkembangannya.
Ø Sosiologi Kefilsafatan: Membicarakan
tentang hakekat masyarakat dan negara. Dalam filsafat ini juga dibicarakan
tentang ideologi, tentang isme-isme (paham aliran). Persoalan pokoknya
apakah yang dinamakan mamsyarakat dan negara itu.
Ø Ethika: Membicarakan
tentang penilaian mengenai tingkah laku yang benar yang mempergunakan
predikat-predikat kesusilaan seperti baik, buruk, sholeh, dsb.
Ø Aesthetika: Bertujuan
untuk mencapai kenyataan menyelidiki tentang kebaikan-kebaikan. Cabang filsafat
ini membicarakan tentang defenisi-definisi, susunan, dan peranan keindahan
khususnya dalam kesenian.
Ø Filsafat agama: Membicarakan
tentang arti istilah yang dipergunakan, hubungan antara bagian-bagian dari
kepercayaan dan bahan-bahan bukti dari kepercayaan dan hubungan antara
kepercayaan agama dengan kepercayaan lainnya. Persoalan yang dekat hubungannya
dengan kepercayaan agama ialah persoalan tentang keabadian jiwa. Persoalan
pokonya adalah apakah yang dinamakan agama itu.
2.3.2
Aliran-aliran Filsafat
Aliran-aliran filsafat yang sejak dahulu hingga sekarang
adalah sebagai berikut:
Ø Aliran
Matrealisme,
aliran ini mengajarkan bahwa hakikat realitas kesemestaan,
termasuk makhluk hidup dan manusia hidup dan manusia ialah materi. Semua
realitas iu ditentukan oleh materi (misalnya benda ekonomi, makanan) dan
terikat pada hukum alam, yaitu hukum sebab-akibat (hukum kaustalitas) yang
bersifat objektif.
Ø Aliran
Idealisme (Spritualisme), aliran
ini megajarkan bahwa ide dan spirit manusia yang menentukan hidup dan
pengertian manusia. Subjek manusia sadar atas realitas dirinya dan kesemestaan
karena ada akal budi dan kesadaran rohani manusia yang tidak sadar atau mati
sama sekali tidak menyadari dirinya apalagi realitas kesemestaan. Jadi hakikat
diri dan kenyataan kesemestaan ialah akal budi (ide dan spirit).
Ø Aliran
Realisme, aliran ini menggambarkan
bahwa kedua aliran diatas adalah bertentangan, tidak sesuai dengan kenyataan
(tidak realitas). Sesungguhnya, realitas kesemestaaan, terutama kehidupan
bukanlah benda (materi) semata-mata. Oleh karenanya, realitas adalah panduan
benda (materi dan jasmaniah) dengan yang non-materi (spiritual, jiwa, dan
rohaniah). Khusus pada manusia tampak dalam gejala daya pikir, cipta, dan budi.
Jadi menurut aliran ini, realitas merupakan sintesis antara jasmaniah-rohaniah,
materi dan non-materi.
2.4
Pancasila sebagai Suatu Sistem
Yang
disebut dengan sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling
berhubungan, saling bekerjasama untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan
merupakan suatu kesatuan yang utuh, sistem lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Suatu
kesatuan bagian-bagian,
2. Bagaian-bagian
tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri,
3. Saling
berhubungan, saling ketergantungan,
4. Kesemuanya
dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan sistem)
5. Terjadi
dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore dan Voich, 1974: 22)
Pancasila
yang tediri atas bagian-bagian yaitu sila-sila Pancasila setiap sila pada
hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri tujuan tertentu, yaitu suatu masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dasar filsafat negara Indonesia terdiri
atas lima sila yang masing-masing merupakan suatu asas peradaban. Setiap sila
merupakan suatu unsure (bagian yang mutlak) dari kesatuan Pancasila. Maka dasar
filsafat negara Pancasila adalah merupakan suatu kesatuan yang bersifat majemuk
tunggal (majemuk artinya jamak) (tunggal artinya satu). Konsekuensinya setiap
sila tidak dapat berdiri sendiri terpisah dari sila yang lainnya.
Pancasila pada hakikatnya merupakan sistem, dalam
pengertian bahwa bagian-bagian, sila-silanya saling berhubungan secara erat
sehingga membentuk suatu struktur yang menyeluruh. Pemikiran dasar yang
terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia dalam hubungannya
dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan dirinya sendiri, dengan sesame manusia,
dengan masyarakat bangsa yang nilai-nilainya telah dimiliki oleh bangsa
Indonesia.
Kenyataan Pancasila yang demikian itu disebut kenyataan objektif, yaitu bahwa
kenyataan itu ada pada Pancasila sendiri terlepas dari sesuatu yang lain, atau
terlepas dari pengetahuan orang. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat
bersifat khas dan berbada dengan sistem-sistem filsafat yang lainnya misalnya
liberalisme, metrealisme, komunisme, dan aliran filsafat yang lainnya. Secara
ilmiah disebut ciri khas secara objektif.
2.5
Pancasila sebagai Suatu Sistem Filsafat
Kesatuan
sila-sila Pancasila bukanlah hanya kesatuan yang bersifat formal logis saja
namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar
aksiologis dari sila-sila Pancasila. Kesatuan sila-sila Pancasila adalah
bersifat hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidal, yang digunakan untuk
menggambarkan hubungan hierarkhis sila-sila dalam Pancasila dalam urut-urutan
luas (kuantitas) dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila
Pancasila itu dalam arti formal logis. Pancasila itu hierarkhis dalam kuantitas
juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-sila Pancasila.
Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologis, dasar
epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila. Secara filosofis
Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki dasar ontologis,
dasar epistemologis serta dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem
filsafat yang lainnya misalnya materialisme, liberalisme, pragmatisme,
komunisme, idealisme, dan lain paham filsafat di dunia.
2.5.1
Dasar Ontologis Sila-sila Pancasila
Ontologi menurut Runes, adalah teori tentang adanya
keberadaan atau iksistensi. Sementara Aristoteles, menyebutnya sebagai ilmu
yang menyelidiki hakikat sesuatu dan disamakan artinya dengan metafisika. Jadi
ontologi adalah bidang filsafat yang menyelidiki makna yang ada (eksistensi dan
keberadaan), sumber ada, jenis ada, dan termasuk ada alam, manusi metafisika,
dan kesemstaan atau kosmologi.
Pancasila terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah
merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri. Melainkan memiliki satu kesatuan
dasar ontologis. Dasar ontologis
Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak monopluralis. Hakikat dasar ini juga
disebut sebagai dasar antropologis. Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila
adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: bahwa yang
Berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, ynag
berpersastuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah
manusia. Dari segi filsafat Negara Pancasila adalah dasar filsafat negara,
adapun pendukung pokok negara adalah rakyat dan unsur rakyat adalah manusia itu
sendiri.
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila
secara ontologis memiliki hal-hal yang
mutlak, yaitu terdiri atas susunan
kodrat, raga, jiwa jasmani dan rokhani, sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Hubungan kesesuaian antara negara dengan landasan
sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat yaitu negara sebagai
pendukung hubungan dan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebab sebagai
pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia,
satu, rakyat, dan adil adalah sebagai sebab adapun negara adalah sebagai
akibat.
2.5.2
Dasar Epistemologis Sila-sila Pancasila
Pancasila sebagai suatu sistim filsafat pada
hakikatnya juga merupakan suatu sistim pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari
pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang
realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa, dan negara tentang makna
hidup serta sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan
kehidupan. Dalam pengertian seperti ini Pancasila telah menjadi suatu sistim
cita-cita atau keyakinan-keyakinan (believe system) yang telah menyangkut
praktis, karena dijadikan landasan bagi cara hidup manusia atau suatu kelompok
masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini berarti filsafat telah
menjelma menjadi ideologi. Sebagai suatu ideologi maka Pancasila memiliki tiga
unsur pokok agar dapat menarik loyalitas dari pendukungnya yaitu: (1) logos,
yaitu rasionalitas atau penalarannya, (2) pathos, yaitu penghayatannya, dan (3)
ethos, yaitu kesusilaannya. Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologis yaitu:
a.
Sumber Pengetahuan Pancasila
Sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang
ada pada bangsa Indonesia sendiri, bukan berasal dari bangsa lain, bukannya
hanya merupakan perenungan serta pemikiran seseorang atau beberapa orang saja
namun dirumuskan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan negara.
Dengan lain perkataan bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai Kausa matrealis
Pancasila. Oleh karena sumber pengetahuan Pancasila adalah bangsa Indonesia
sendiri yang memiliki nilai-nilai adat-istiadat serta kebudayaan dan nilai
religious, maka diantara bangsa Indonesia sebagai pendukung sila-sila Pancasila
dengan Pancasila sendiri sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki kesesuaian
yang bersifat korespondensi.
b.
Susunan Pancasila sebagai Suatu Sistim Pengetahuan
Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis
baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti sila-sila
Pancasila. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhis dan
berbentuk pyramidal, dimana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai
keempat sila lainnya serta sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan
menjiwai sila-sila ketiga, keempat, dan kelima , sila ketiga didasari dan
dijiwai sila pertama dan sila kedua serta mendasari dan menjiwai sila-sila
keempat dan kelima, sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, dan
ketiga serta mendasari dan menjiwai sila kelima, adapun sila kelima didasari
dan dijiwai sila-sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Susunan
isi arti Pancasila meliputi tigal hal yaitu:
1)
Umum universal
yaitu hakikat sila-sila Pancasila, inti sari atau esensi Pancasila sehingga
merupakan pangkal tolak rivisi baik dalam pelaksanaan pada bidang-bidang
kenegaraan dan tertib hukum Indonesia serta dalam realisasi praktis dalam
berbagai bidang kehidupan kongrit.
2)
Umum kolektif yaitu
isi arti Pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia
terutama dalam tertib hukum Indonesia.
3)
Khusus dan
kongrit yaitu isi arti
Pancasila dalam realisasi praktis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga
memiliki sifat yang khusus kongrit serta dinamis.
c.
Pengetahuan Manusia
Menurut Pancasila bahwa hakikat manusia adalah monopluralis yaitu hakikat manusia yang
memiliki unsure-unsur pokok yaitu susunan kodrat yang terdiri atas raga
(jasmani) dan jiwa (rokhani). Tingkatan hakikat raga (jasmani) manusia adalah
unsur-unsur: fisis anorganis, vegetative,
animal. Adapun unsur jiwa (rokhani) manusia terdiri atsa unsur-unsur potensi jiwa manusia yaitu: (1) akal, yaitu
suatu potensi unsur kejiwaan manusia dalam mendapatkan kebenaran pengetahuan
manusia, (2) rasa, yaitu unsur potensi jiwa manusia dalam tingkatan kemampuan
estetis (keindahan), dan (3) kehendak, yaitu unsur potensi jiwa manusia dalam
kaitannya dengan bidang moral atau etika.
Menurut Notonagoro untuk memperoleh pengetahuan yang
benar terdapat tingkat-tingkat pemikiran sebagai berikut: memoris, reseptif, kritis dan kreatif. Adapun potensi atau daya
untuk meresapkan pengetahuan atau dengan kata lain transformasi pengetahuan
terdapat tingkatan sebagai berikut: demonstrasi,
imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi, dan ilham.
2.5.3
Dasar Aksiologis Sila-sila Pancasila
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga
memiliki satu kesatuan dasar aksiologisnya, yaitu nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Namun dari
berbagai macam pandangan tentang nilai dapat kita kelompokkan pada dua macam
sudut pandang yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek
pemberi nilai yaitu manusia, hal ini
bersifat subjektif namun juga terdapat pandangan bahwa pada hakikatnya sesuatu
itu memang pada dirinya sendiri memang bernilai, hal ini merupakan pandangan
dari paham objektivisme.
Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, banyak
pandangan tentang nilai terutama dalam menggolongkan nilai dan penggolongan.
Max Scheler misalnya, mengemukakan bahwa nilai pada
hakikatnya berjenjang, jadi tidak sama tingginya dan tidak sama luhurnya.
Nilai-nilai itu dalam kenyataannya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih
rendah bilamana dibandingkan satu dengan lainnya. Sejalan dengan pandangan
tersebut Notonagoro merinci nilai di samping bertingkat juga berdasarkan
jenisnya ada yang bersifat material dan non-material. Ada sekelompok orang
mendasarkan pada orientasi nilai material, namun ada pula yang sebaliknya yaitu
berorientasi pada nilai yang nonmaterial. Bahkan sesuatu yang non-material itu
mengandung nilai yang bersifat mutlak bagi manusia. Nilai-nilai material
relatif lebih mudah diukur yaitu menggunakan indra maupun alat pengukur lainnya
seperti berat, panjang, lebar, luas, dan sebagainya. Dalam menilai hal-hal yang
bersifat rokhaniah yang menjadi alat ukur adalah hati nurani manusia yang
dibantu oleh alat indra manusia yaitu cipta, rasa, karsa serta keyakinan
manusia.
Menurut Natanagoro bahwa nilai-nilai Pancasila
termasuk nilai kerokhanian, tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui nilai
material dan nilai vital. Nilai kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai
lain secara lengkap dan harmonis yaitu nilai material, nilai vital, nilai
kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral,
maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistematik-hierarkhis,
dimana sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai basisnya sampai
dengan sila Keadilan Sosial sebagai tujuannya.
a.
Teori Nilai
Nilai secara senyatanya ada yang lebih tinggi dan ada
yang lebih rendah dibandingkan dengan
nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya, nilai-nilai dapat dikelompokkan
dalam empat tingkatan sebagai berikut:
1)
Nilai-nilai kenikmatan: terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakkan dan
tidak mengenakkan (Die Wertreihe des Angnehmen und Unangehmen), yang
menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.
2)
Nilai-nilai kehidupan: nilai-nilai yang penting bagi kehidupan (Werte des
vitalen Fuhlens) misalnya kesehatan.
3)
Nilai-nilai kejiwaan: nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak
tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai semacam ini ialah
keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.
4)
Nilai-nilai kerokhanian: nilai dari yang suci dan tak suci (wermodalitas des
Heiligen und Unheiligen), nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari
nilai-nilai pribadi.
Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusiawi
ke dalam delapan kelompok yaitu:
1) Nilai-nilai
ekonomis: ditujukan oleh harga pasar
dan meliputi semua benda yang dapat dibeli.
2) Nilai-nilai
kejasmanian: membantu pada
kesehatan, efisiensi dan keindahan dari kehidupan badan.
3) Nilai-nilai
hiburan: nilai-nilai permainan dan
waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada pengayaan kehidupan.
4) Nilai-nilai
sosial: berasal mula dari berbagai
bentuk perserikatan manusia.
5) Nilai-nilai
watak: keseluruhan dari keutuhan
kepribadian dan sosial yang diinginkan.
6)
Nilai-nilai estetis: nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni.
7)
Nilai-nilai intelektual: nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran.
8) Nilai-nilai
keagamaan
Notonagoro membagi nilai menjadi tiga yaitu:
1) Nilai
material, yaitu segala sesuatu yang
berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktifitas.
2) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk
dapat mengadakan kegiatan atau aktifitas.
3) Nilai-nilai
kerokhanian, yaitu segala
sesuatu yang berguna bagi rohani. Nilai kerokhanian ini dapat dibedakan atas
empat macam:
a)
Nilai kebenaran,
yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
b) Nilai
keindahan atau nilai estetis,
yang bersumber pada unsur perasaan (aesthetis,
gevoel, rasa) manusia.
c) Nilai
kebaikan atau nilai moral, yang
bersumber pada unsur kehendak (will,
wollen, karsa) manusia.
d) Nilai
religius, yang merupakan nilai
kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada
kepercayaan atau keyakinan manusia.
Masih banyak lagi cara pengelompokkan nilai,
misalnya seperti dilakukan N. Recher,
yaitu pembagian ini berdasarkan pembawa nilai, hakikat keuntungan yang
diperoleh, dan pula dengan pengelompokan nilai menjadi nilai instrinsik dan
ekstrinsik, nilai objektif, dan nilai subjektifniali positif dan nilai negatif
(disvalue) dan sebagainya.
b.
Nilai-nilai Pancasila sebagai Suatu Sistem
Hakikat sila-sila Pancasila (substansi Pancasila)
merupakan nilai-nilai, sebagai pedoman negara merupakan nilai-nilai norma,
adapun aktualisasinya merupakan realisasi kongrit Pancasila. Prinsip dasar yang
mengandung kualitas tertentu itu merupakan cita-cita dan harapan atau hal yang
ditujukan oleh bangsa Indonesia untuk diwujudkan menjadi kenyataan real dalam
kehidupannya, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara.
Nilai-nilai yang terkandung dalam sila I sampai dengan sila V Pancasila
merupakan cita-cita, harapan, dambaan bangsa Indonesia yang akan diwujudkan dalam kehidupannya.
Telah diuraikan pada bagian-bagian sebelumnya, Pancasila yang pada tahun 1945
secara formal diangkat menjadi das Sollen
bangsa Indonesia, sebenarnya dianggap dari kenyataan real yang berupa
prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam adat-istiadat, kebudayaan dan
kehidupan keagamaan atau kepercayaan bangsa Indonesia.driyarkarya menyatakan
bahwa bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan Sein im Sollen, merupakan harapan, cita-cita, tetapi sekaligus
adalah kenyataan bagi bangsa Indonesia.
Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesia itulah yang
menghargai, mangakui, menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai.
Pengakuan, penghargaan dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai
itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa
Indonesia. Jika pengakuan, penerimaan atau penghargaan itu telah menggejala,
maka bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap,
tingkah laku dan perbuatan manusia Indonesia.
Akan tetapi nilai-nilai itu saling melengkapi. Hal ini
disebabkan sebagai suatu substansi, Pancasila itu merupakan kesatuan yang bulat
dan utuh, atau kesatuan organik (organic
whole). Dengan demikian berarti nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh pula.
Sila-sila itu merupakan kesatuan organik. Antara
sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan secara erat,
bahkan saling mengkulifikasi. Adanya sila yang satu mengkualifikasi adanya sila
yang lainnya. Secara demikian, Pancasila itu merupakan suatu sistem dalam
pengertian umum, dalam artian bahwa bagian-bagiannya (sila-silanya) saling
berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu struktur yang menyeluruh.
Suatu hal yang diberikan penekanan lebih dahulu yakni
meskipun nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan
dan bobot nilai yang berbeda yang berarti ada “keharusan” untuk menghormati niai yang lebih tinggi,
nilai-nilai yang berbeda tingkatan dan bobot nilainya itu tidak saling
berlawanan atau bertentangan, melainkan saling melengkapi.
2.6 Isi Kandungan
Sila-sila Pancasila
Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia. Banyak dari masyarakat Indonesia tidak memaknai kandungan isi dari
tiap-tiap sila pancasila, kandungan tiap-tiap sila Pancasila 1 sampai 5 yaitu sebagai berikut:
1.
Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa
1)
Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa,
2)
Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Ea, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab,
3)
Mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama
antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan
Yang Maha Esa,
4)
Membina kerukunan hidup antara sesame umat beragama dan
berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
5)
Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah
masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa
yang dipercayai dan diyakininya,
6)
Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan
ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, dan
7)
Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa kepada orang lain.
2.
Sila
Kemanusiaan yang Adil dan Bearadab
1)
Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa,
2)
Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban
asasi setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agam, kepercayaan,
jenis kelamin, kedudukan social, warna kulit, dsb,
3)
Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia,
4)
Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepa selira,
5)
Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain,
6)
Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan,
7)
Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan,
8)
Berani membela kebenaran dan keadilan,
9)
Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh
umat manusia, dan
10)
Mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama
dengan bangsa lain.
3.
Sila
Persatuan Indonesia
1)
Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan
bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau
golongan,
2)
Sangup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan
bangsa, apabila diperlukan,
3)
Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa,
4)
Mengembangkan rasa kebanggaan kebangsaan dan bertanah air
Indonesia,
5)
Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian
abadi dan keadilan sosial,
6)
Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhineka Tunggal
Ika, dan
7)
Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
4.
Sila
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan
1)
Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia
Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama,
2)
Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain,
3)
Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama,
4)
Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat
kekeluargaan,,
5)
Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang
dicapai sebagai hasil musyawarah,
6)
Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan
hasil keputusan musyawarah,
7)
Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama diatas
kepentingan pribadi atas golongan,
8)
Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan
hati nurani yang jujur,
9)
Keputusan yang diambil harus dapat dipertangung jawabkan
secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan
kesatuan demi kepentingan bersama, dan
10)
Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai
untuk melaksanakan permusyawaratan.
5.
Sila
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
1)
Mengembangkan perbuatan luhur, yang mencerminkan sikap dan
suasana kekeluargaan dan kegotong royongan,
2)
Mengembangkan sikap adil terhadap sesama,
3)
Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban,
4)
Menghormati hak orang lain,
5)
Suka memberikan pertolongan kepada orang lain agar dapat
berdiri sendiri,
6)
Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat
pemerasan terhadap orang lain,
7)
Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat
pemborosan dan gaya hidup mewah,
8)
Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bertentangan
dengan atau merugikan kepentingan umum,
9)
Suka bekerja keras,
10)
Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi
kemajuan dan kesejahteraan bersama, dan
11)
Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan
yang merata dan keadilan sosial.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kelangsungan dan keberhasilan suatu bangsa dalam
mencapai cita-citanya sangat dipengaruhi oleh filsafat negara dari bangsa tersebut.
Pancasila adalah pedoman dan arah yang akan dituju dalam mencapai cita-cita
bangsa. Tanpa dilandasi oleh suatu filsafat maka arah yang akan dituju oleh
bangsa akan kabur dan mungkin akan dapat melemahkan bangsa dan negara, jika
filsafat itu tidak dihayati oleh bangsa tersebut. Untuk itulah kita bangsa
Indonesia perlu untuk mengerti dan menghayati filsafat Pancasila sebagai
pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pancasila sebagai sistem dalam filsafat, kita sudah
tentu harus memenuhi syarat-syarat dari filsafat itu sendiri. Sistem filsafat
Pancasila dapat kita temukan dalam berbagai nilai-nilai kehidupan di masyarakat,
antara lain dari nilai agama, kebiasaan dari orang-orang Indonesia yang telah
menjadi budaya dalam pergaulan sehari-hari. Seperti halnya kebudayaan di
berbagai daerah di Indonesia adalah sumber dari nilai-nilai Pancasila itu.
Pancasila sebagai filsafat telah berhasil
eksistensinya dalam kehidupan bernegara, karena Pancasila dapat dan mampu
berperan sebagi sumber nilai dalam kehidupan politik, dalam sistem
perekonomian, sebagai sumber dari sistem sosial dan budaya masyarakat. Oleh
karena itu Pancasila perlu kita sebar luaskan dan kita gali terus-menerus, demi
kuat dan kokohnya bangsa dan negara Indonesia. Pancasila adalah sumber kekuatan
bangsa untuk tetap tegaknya negara dan keteraturan kehidupan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Achmad, Asmoro, 2009. Paradigma Baru Filsafat Indonesia dan Kewarganegaraan. Semarang: RaSAIL Media
Group.
Erwin, Muhammad, 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Republik
Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.
Kaelan, 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta:
Paradigma.
Kaelan dan Achmad
Zubaidi, 2012. Pendidikan Kewarganegaraan.
Yogyakarta: Paradigma
Website:
No comments:
Post a Comment